Muhammad SAW dan Kelestarian Lingkungan
Syahrullah, SH, MH
(Dosen STIH Muhammadiyah Bima)
|
Pada minggu kedua bulan Rabiul Awal Tahun Gajah/April 580 M, di Mekkah lahir seorang anak dalam keadaan yatim, beliau adalah Muhammad SAW. Dengan nama yang begitu mulia, jutaan bahkan milyaran bibir setiap hari mengucapkannya. Milyaran jantung setiap saat berdenyut. Berulang kali. Bibir dan jantung yang bergerak dan berdenyut sejak seribu empat ratus tahun lalu. Dengan nama yang begitu indah bibir umat Islam di seantero jagad akan terus mengucapkan, milyaran jantung akan terus berdenyut, sampai akhir zaman.
Pada setiap hari di kala fajar menyingsing, lingkaran-lingkaran putih diufuk sana mulai nampak hendak menghalau kegelapan malam, ketika itu seorang muazzin bangkit, berseru kepada setiap makhluk insani, bahwa bangun bersembahyang lebih baik daripada terus tidur. Ia mengajak mereka bersujud kepada Allah, membaca salawat buat Rasulullah.
Seruan ini disambut oleh ribuan, oleh jutaan umat manusia dari segenap penjuru bumi, menyemarakkanya dengan shalat menyambut pahala dan Rahmat Allah bersamaan dengan terbitnya hari baru. Dan Bila hari siang. Mataharipun berangkat pulang, kini muazzin bangkit lagi menyerukan orang bersembahyang dhohor, lalu shalat ashar, magrib dan Isya. Pada setiap kali dalam sembahyang ini mereka menyebut Muhammad, hamba Allah Nabi dan RasulNya itu, dengan penuh permohonan, penuh kerendahan hati dan syahdu. Dan selama mereka dalam rangkaian sembahyang lima waktu itu, bergetar jantung mereka menyebut asma Allah dan menyebut nama Rasulullah. Begitulah mereka, dan akan begitu mereka, setelah Allah memperlihatkan agama yang sebenarnya ini dan melimpahkan Rahmat dan nikmat-Nya kepada seluruh umat manusia.
Dengan budi luhur, ilmu pengetahuan, sikap ksatria dan ketekunan beliau menyebarluaskan rahmat dan kasih sayang bagi seru sekalian alam. Dengan rahmat tersebut, terpenuhilah hajat batin umat manusia akan ketenangan dan ketentraman, serta pengakuan atas wujud, hak-hak, bakat dan fitrahnya, sebagaimana terpenuhi pula hajat keluarga kecil dan besar akan perlindungan, bimbingan, pengawasan serta saling pengertian dan perdamaian.
Rahmat tersebut bukan hanya terbatas dirasakan oleh pengikut-pengikutnya, bahkan bukan hanya manusia, Muhammad SAW telah mengajarkan:
“Apabila kalian mengendarai binatang,berikanlah haknya, janganlah menjadi setan-setan terhadapnya.”
“Seorang wanita dimasukkan Tuhan ke neraka, karena ia mengurung seekor kucing, tidak diberinya makan dan tidak pula dilepaskannya untuk mencari sendiri makanannya,” sebaliknya, sabda beliau di kali yang lain, “Seorang yang bergelimang didalam dosa diampuni Tuhan karena memberi minum seekor anjing yang kehausan.”
Sebelum dunia mengenal istilah kelestarian lingkungan, manusia Agung ini telah mengajarkan untuk hidup bersahabat dengan alam. Tidak dikenal istilah penundukan alam dalam ajarannya, karena istilah ini dapat mengantar manusia kepada kesewenang-wenangan, penumpukan tanpa batas dan tanpa kebutuhan. Tuhan memudahkan alam untuk dilola manusia. Dalam (Q.S, 14:32) Allah menjelaskan berbagai macam nikmat yang telah diberikan kepada makhluk-Nya dengan menciptakan untuk mereka langit sebagai atap yang terjaga agar tidak jatuh dan Bumi sebagai alas. Dan Allah menurunkan air hujan dari langit, maka kami tumbuhkan dengan air hujan itu berbagai jenis dari tumbuh-tumbuhan yang bermacam-macam, dengan buah-buahan dan tanaman yang beraneka macam warna, bentuk, rasa, aroma, dan manfaatnya. Dan Allah menundukan bahtera dengan menjadikannya terapung di atas air laut dan berlayar di permukaannya dengan perintah Allah Ta’ala. Menundukan lautan dengan membawa kapal yang dijadikan oleh para musafir sebagai alat transportasi dari satu daerah ke daerah lain untuk mengangkut barang-barang dari satu tempat ke tempat lain. Dan menundukkan sungai-sungai yang membelah bumi dari satu daerah sampe daerah lain, semua itu sebagai sumber rizki bagi makhluk di dunia ini dengan menggunakannya untuk minum, mengairi tanaman dan lain-lain yang bermacam-macam manfaatnya.
Itulah seruan yang digunakan (Q.S, 14:32) disertai dengan pesan untuk tidak merusaknya bahkan mengantar setiap bagian dari alam ini mencapai tujuan penciptaannya, karena itu, terlarang dalam ajarannya menjual buah yang mentah, atau memetik kembang yang belum mekar. “Biarkan semua bunga mekar, agar mata menikmati keindahannya dan lebah mengisap sarinya.”
Rahmat yang dibawanya bahkan menyentuh benda-benda tak bernyawa sekali pun, sampai-sampai beliau memberi nama untuk benda-benda tersebut. Perisainya diberi nama Zat Alfudhul, pedangnya Zulfiqar, Pelananya, Addaaj, Tikarnya, Alkuz, Cerminya, Almidalah, gelasnya Asshadir, tongkatnya, Almansyuk, dan lain-lain. Semua dengan nama-nama indah, penuh arti, seakan-akan benda-benda tidak bernyawa itu mempunyai kepribadian yang membutuhkan juga uluran tangan, pemeliharaan, persahabatan, Rahmat, dan kasih sayang.
Pada momen memperingati Hari Lingkungan Hidup Sedunia yang jatuh pada tanggal 5 Juni, kita coba mempertanyakan “terasakah Rahmat dan kasih sayang yang dibawa oleh Nabi Kita Muhammad SAW di dalam relung kehidupan kita? Jawabannya entahlah. Hari lingkungan hidup ini menggugah bagi semua orang untuk menjadi bagian dari aksi global dalam menyuarakan proteksi terhadap planet bumi, pemanfaatan sumber daya alam yang berkelanjutan, dan gaya hidup yang ramah lingkungan.
Slogan @komunitas KPPL HMTL ITS: “Sebagai manusia, kita tidak bisa lepas dari alam. Air yang kita minum, udara yang kita hirup, makanan yang kita nikmati, dan tanah tempat kita berpijak semua berasal dari alam. Alam tengah memberikan pesan, bahwa kita harus saling menjaga.” Bijak kita renungkan. (*)