Dakwah Medsos Perlu Sikap Ilmiah
Muchlis, M.Pd.I |
Bima, (Zona Rakyat),- Kemajuan tehnologi
di Era Revolusi Industri 4.0 merubabah wajab wajah peradaban ummat manusia,
termasuk dalam hal dakwah Islam, hal ini tentu saja sangat positif. Ttepi juga
menyimpan ancaman negatif yang fatal, terutama penyebaran doktrin-doktrin
keagamaan yang belum jelas sumber dan keotentikkanya, karena itu penting untuk
mngedepankan sikap ilmiah dalam menyebarkan segala informasi, tidak terkecuali dalam
menyebarluaskan pesan-pesan ilahiyah. Hal Ini di kemukan oleh Ustad Pembina Pondok
Al-Ihlas Muhammadiyah Bima juga Dosen STKIP Bima, Muchlis, M.Pd.I.
“Dalam penulisan
karya ilmiah seperti makalah, skripsi, tesis, disertasi, jurnal, dll. Selalu
mengedepankan Sikap ilmiah (kevalidan)” Menurutnya, Tapi ada yang kita lupakan,
yakni kita lupa (atau bahkan secara sadar) bahwa seringkali sikap ilmiah (cek
validitas) itu tidak kita terapkan ketika bersinggungan dgn masalah Agama
(Khususnya Masalah Al-Hadits, kalau al-Quran gak terlalu).
Menurut alumnis
Pondok Shobron Universitas Muhamadiyah Surakarta ini, Sikap tidak ilmiah
dalam ranah Agama, pelakunya bukan hanya orang yang tidak pernah belajar agama
secara intens (baca: mondok) saja, bahkan terkadang orang yg pernah belajar
agama secara intens (pondok) juga bisa berbuat demikian.
Padahal ketika
berbicara Agama, harusnya kita lebih teliti (ilmiah). Karena Kenapa, Pertama,
Urusan agama itu panjang, jangkauannya
bukan hanya dunia saja, tapi dunia dan Akhirat.Kedua, Orang yg Berbicara Agama itu seakan-akan
kita menjadi Wakil Allah di bumi (kalau istilah imam ibn Qayyim: Sekretaris
Tuhan, karena biasanya ketika Ketua tdak ada, maka Sekretaris yg akan
menggantikan ketua, yg memberikan stempel, dll. Ketiga, Di antara yg masuk kategori Dosa besar adalah Berdusta atas
nama Allah (termasuk Nabi) (QS an-Nahl: 116), juga Ancaman dari Nabi dlm HR.
Imam Ahmad.
Menurut Ustad
Muchlis, solusi menghadapi hal itu adalah. Pertama,
Terapkan nilai ilmiah dalam urusan Agama (contohnya masalah kutip-mengutip),
Kedua, Kalau tidak mampu mengecek
kevaliditasan sebuah Hadits (misalnya), maka tanyakan kepada orang yg memiliki
kecapakan terkait.
Kertiga, Tahu kapasitas diri (jangan jadi kaum
Asbuniyyun: asal bunyi) kalau tidak punya ilmu tentang hukum, jangan bicara
hukum. Jangan berani operasi pasien, kalau bukan dokter yg ahli. Demikian juga
masalah Agama, biarkanlah yg memiliki kapasitas yang berbicara masalah Agama.
Sebab Kalau seandainya setiap org boleh bicara, lantas apalagi yang tersisa
dari agama ini? Gugahnya. (ZR.01)