Merdeka Di Persimpangan Jalan
Fahrul Akbar, S.Pd.I |
Bulan Agustus, selalu ada begitu banyak hal menarik dibulan ini yang tentu saja berbeda dengan bulan-bulan yang lainnya. Pemandangannya begitu berbeda, bendera Merah Putih berkibar dengan gagahnya di jalan-jalan, di Kantor-kantor, di rumah-rumah dan tentu saja bendera juga berkibar di berbagai kendaraan seperti benhur, motor dan mobil, dan lagu-lagu kemerdekaan banyak terdengar dimana-mana, baik itu di kantor, sekolah, pertokoan, restauran, kafe, bahkan warung dipinggir jalan. Banyak yang bergembira ria menyambut bulan Kemerdekaan ini. Belum lagi ditambah dengan nostalgia hangat antara kita dengan memori kita ketika mengikuti lomba-lomba 17-an seperti makan kerupuk sambil duduk, balap karung, lari maraton, panjat pinang, lomba gerak jalan, lomba cerdas cermat, lomba pentas seni, lomba sepak bola, dan sebagainya.
Memang berbeda, bahkan pasti berbeda antara euforia pada 17 Agustus 1945, 17 Agustus 1990, bahkan pada 17 Agustus 2019. Setiap tahun hari bersejarah kemerdekaan bangsa Indonesia dirayakan dengan penuh suka cita, penuh harap harap cemas namun masih begitu banyak makna yang belum teredukasi dengan baik kepada generasi mudanya. Bangsa Indonesia betul betul hanyut dalam indahnya romantisme perjuangan masa silam yang penuh dengan patriotisme dan revolusioner. Merdeka dan gagasan tentang kemerdekaan mewarnai alam bawah sadar rakyat Indonesia. Merdeka telah bermanivestasi menjadi mantra dan dogma yang telah melebur dalam jiwa, gagasannya mengguncang dunia, keinginan untuk segera lepas dari cengkreman penjajah-penjajah asing, sejak dari dulu mengantarkan negeri ini untuk bebas tanpa syarat bahkan kata merdeka menjadi sebuah kata yang sakral, energi, dan penuh filosofi.
Merdeka, merdeka, merdeka. Mengiringi perjuangan para pahlawan negeri dalam melawan dan menumpas penjajah bahkan didetik-detik terakhir pertempuran, kata ini menggema ke seantero jagad nusantara. Kata ini menginspirasi rakyat dari berbagai kalangan, baik itu ulama, bangsawan, kaum borjuis, priyai, abangan, dan lain-lain untuk satukan tekad melawan dan menebarkan semangat perjuangan sebagai bangsa yang senasib seperjuangan.
Merdeka sendiri dalam tafsir kamus bahasa Indonesia adalah bebas, bebas dengan sadar untuk menentukan masa depan sendiri, bahkan menentukan pilihan. Sejak awal bangsa Indonesia dengan semangat kemerdekaannya memiliki kebebasan yang hakiki untuk menatap masa depannya sesuai dengan kehendak rakyatnya tanpa takut diintimidasi dan ditekan bahkan diatur oleh Negara Negara adikuasa. Namun spirit kebebasan tersebut kini harus berhadapan dengan invasi-invasi dan pemaksaan kehendak dari Negara-negara besar yang memiliiki kepentingan di dalam negeri Indonesia. Lewat berbagai macam konspirasi dan perjanjian perjanjian internasional baik itu disponsosri oleh PBB, IMF, World Bank, Paris club, dan lain-lain lambat laun kemerdekaan yang telah diperjuangkan berabad abad lamanya mulai diperkosa dan dinodai oleh MNC maupun TNC anak kandung dari kaum kapitalisme, komunisme, liberalisme, sekulermisme, pluralisme yang akhirnya menciptakan ketidak adilan dalam negeri.
Sudah lebih dari 74 tahun Indonesia merdeka, negeri ini telah mengalami perjalanan panjang, sebuah perjalanan penuh cuka cita perjuangan. Di awali dengan Orde Lama (1945-1966) yang dipimpin oleh Soekarno, digantikan oleh Soeharto dengan rezim Orde Baru (1966-1998), kemudian Soeharto ditumbangkan oleh keberanian dan keprihatinan para Pemuda 1998 pada kondisi negeri, setelah tumbangnya orde baru, lalu digantikan oleh era reformasi hingga saat ini. Begitu banyak lika-liku dan arang merintangi perjuangan negeri ini untuk memperjuangkan impiannya. Namun belum begitu banyak yang bisa diperbuat negeri ini untuk memperjuangkan keadilan dan kemakmuran bagi rakyatnya, masih banyak rakyat Indonesia yang hidup dibawah garis kemiskinan, putus sekolah, hingga anak anak terlantar, spirit kemerdekaan harusnya berbarengan dengan terbentuknya watak orang orang Indonesia yang bersatu, maju dan bergotong royong membantu dan menolong satu sama lain, sesuai dengan bunyi sila kelima pancasila, “ keadialn sosial bagi seluruh rakyat indonesia” sehingga makna dan hadiah kemerdekaan seharusnya tidak saja dapat dinikmati oleh mereka yang berduit, bermodal, mempunyai kuasa dan kekuatan, namun juga mereka kaum tertindas, teraniaya dan terlantar yang tidak memiliki modal, duit, jaringan hingga koneksi kepada kekuasaan.
Di era modernitas “gagasan kemerdekaan” menghadirkan fakta-fakta yang mencengangkan, tidak singkronnya kemerdekaan dalam tafsir tekstual, normative dan empirik karena sebagian besar rakyat merasa janji-janji kemerdekaan yang masih menjadi hutang negeri ini belum terlunasi dengan baik dan jelas. Jika dulu kemerdekaan menjadi sebuah narasi superioritas yang membawa semangat kemerdekaan Indonesia dengan perjuangan kolektif kolegial melawan penjajahan asing dan menggulung kolonialisme, kini bangsa ini harus menerima kenyataan pahit dengan menyaksikan anak anak negeri yang berlomba lomba berjuang dalam pertarungan sengit untuk meraih kekuasaan hingga perang saudara, ditengah dominasi ekonomi yang dikuasai kaum minoritas tanpa ampun mengeksploitasi kekayaan alam dan sumber sumber ekonomi negeri ini. Tambang tambang straegis emas, minyak, gas perkebunan sawit jadi rebutan perusahaan perusahaan asing seperti Freeport, Newmount, Exxon mobile yang tidak lain adalah milik Amerika, Inggris, Australia, Cina, Korea, Negara-negara imprealis dunia.
Dalam kehidupan politik gagasan reformasi birokrasi justru melahirkan suatu golongan yang hanya mementingkan golongan tertentu, akhirnya reformasi birokrasipun tetap saja melaksanakn praktik-praktik warisan lama yang masih sulit membuka ruang integrasi, tranparansi karena masih kuatnya politik transaksional yang telah menjadi suatu tradisi turun temurun, begitupun dengan demokrasi liberal yang di tunggangi kapitalisme dengan mahar politik selangit hanya bisa dinikmati oleh kaum berduit dan berpengaruh sehingga bagi rakyat jelata atau aktivis sosial yang berkualitas tidak mampu meraih suara dengan sistem prabayar dan menikmati panggung politik. Dalam kehidupan sosial yang lekat dengan solidaritas sosial kini dirusak dan dirasuki oleh praktik praktik induvidualis, pragmatisme, hedonisme, materialisme, yang akan mengancam solidaritas sosial sebagaimana pesan dari Ibnu Khaldun seorang ahli pemikir sosial islam yang berpengaruh diandalusia di abad pertengahan dalam karya monumentalnya muqqadimah, bahwa Negara dan masyarakat dibangun atas solidaritas soial dan kelompok jika solidaritas sosialnya rapuh maka akan ambruklah Negara dan bangsa tersebut.
Maka fenomena pragmatis fundamental yang dialami para pesohor negeri ini menjadi lumrah dinegeri ini, para punggawa dan pejabat tiap hari diberitakan terlibat mega skandal bahkan angkanya mencapai triliunan, satu persatu kasus OTT yang tertangkap tangan KPK baik itu melibatkan Menteri, Ketua Partai, Gubernur, Bupati atau Walikota yang dampaknya amat merugikan bagi pembangunan negeri ini. Di siaran siaran TV para pesohor artis tidak mau kalah untuk memamerkan kekayaan dan gaya hidup sosialita yang terkadang tidak mewakili fakta dan kenyataan rakyat Indonesia yang miskin dan terlantar.
Konflik rakyat vs pemerintah dalam hal kebijakan politik dan pembangunan kerap menghiasi layar kaca, demontrasi terjadi dimana mana bahkan tak terkontrol. Belum lagi kisah serbuan tenaga kerja asing yang menyerbu negeri ini. Maka lengkaplah problematika kebangsaan ini. Di era moderniotas begitu banyak kasus hukum, sosial, politik, budaya, ekonomi yang harus menjadi perhatian pemerintah untuk secepatnya bergegas dalam rangka menuntaskan kejahatan dan praktik praktif mafia dinegeri ini. Sebagai anak negeri kita harus optimis menatap masa depan negeri ini. Walaupun kemerdekaan masih dipersimpangan jalan, yang melahirkan fenomena “ Pragmatis fundamental “ sebagai sisi gelap dari sikap opurtunis anak negeri ini yang merasa apatis dan tidak lagi mencintai darah, keringat dan perjuangan pahlawan dinegeri ini. Karena kemerdekaan yang diprakarsai pada tanggal 17 Agustus 1945 merupakan usaha kolektif kolegial rakyat Indonesia dalam rangka melawan panjajahan, melawan pembodohan, melawan penindasan dan keterbelakangan. Maka tigas kita untuk meneruskan jejak perubahan, pembaharuan demi tegaknya keadilan dinegeri ini.
Merdeka, merdeka, merdeka...!
Catatan Menjelang 17 Agustus 2019, Dari Gubuk Kecil Gunung Dua Bedi Kota Bima.
Penulis adalah Guru SDN 69 Kabanta Kota Bima, Wakil ketua bidang dakwah Pemuda Muhammadiyah Kota Bima.