Melawan Korupsi Dalam Bingkai Moralitas
Ridwan M Said |
Bangsa Indonesia baru saja melewati momentum krusial dalam menentukan nasibnya, paling tidak lima tahun kedepan, yakni telah usainya Pilpres 2019 dan pemilu Legisatif. Dalam waktu yang berdekatan juga Presiden membentuk panitia seleksi Pimpinan KPK yang baru. Sebagai anak bangsa kita berharap momentum siklus pasca pilpres dengan semangat baru pemerintahan dan juga pimpinan KPK yang baru nantinya, ruang gerak korupsi di persempit, dan di hapuskan di bimi pertiwi ini, hingga pada kahirnya cita-cita pendiri bangsa Indonesia yang sejahtera dan maju, setara dengan bangsa-bangsa lainnya yang telah lebih dulu menggapai kemajuan dan kesejahteraan daapt terwujud.
Pertanyaan kemudian apakah periode kedua kepemimpinan Jokowi bersama KH Ma’ruf Amin pemberantasan korupsi makin baik, stagnan atau malah mundur, hal ini sangat tergantung dari seberapa jauh komitmen Presiden terpilih dalam memimpin “perang total” terhadap korupsi. Mengingat Korupsi telah menjadi jenis patologi sosial akut yang meruntuhkan sendi-sendi kehidupan berbangsa dan bernegara, ia mematahkan optimisme, mengacak-acak kepastian, dan mencabik rasa keadilan, karenanya sangatlah pantas korupsi menjadi musuh bersama umat manusia dan peradaban yang waras. Maka, pantaslah ia diperangi dengan cara-cara di luar standar-standar normative dan konfensional.
Ada banyak bangsa yang terpapar korupsi akut yang mengalami kesulitan untuk maju, bahkan bertahan saja sulit, begitu pula rezim silih berganti, dan runtuh akibat terinfeksi korupsi dan kegagalan mereka untuk menginjeksinya dengan sungguh-sungguh. Dalam konteks Indonesia, korupsi telah menjadi bagian dari sejarah perjalanan Bangsa, baik pra kemerdekaan maupun pasca kemerdekaan. Konon Kebangkrutan Institusi dagang Kolonial VOC tempo dulu di akibatkan oleh merajalelanya korupsi dalam tubuh institusi itu, begitu pula pada era Indonesia modern baik orde lama, orde baru, maupun orde reformasi, salah satu isu yang mengemukan dan menyertai kejatuhan setiap rezim pada setiap era tersebut tidak lepas dari isu korupsi.
Kegagalalan Kultur
Dalam sejarah Indonesia sudah begitu banyak produk hukum (UU/substansi hukum) yang di lahirkan untuk memerangi korupsi, pada aspek struktur (institusi) selain lembaga penegak hokum yang sifatnya permanen seperti Kepolisian, Kejaksaan juga sudah banyak lembaga yang dibentuk dan di tugasi secara khusus untuk memberantas korupsi, sampai dengan terbentuknya lembaga anti korupsi yang masih eksis sampai saat ini yakni KPK yang tugas dan kewenangannya sangat luas. Sudah banyak para korutor dijerah oleh lembaga anti rasua ini, dari pejabat besar hingga kecil, Menteri, Gubernur Bupati/Walikota, pengusaha, Kepala Desa, legisaltif, TNI/Polri, Jaksa, Hakim, PNS, dll. Akan tetapi, korupsi masih saja terus menjalar dari segi kuantitas dan kualitas
Pada aspek struktur hokum pemberantasan korupsi ini belum lagi tersedia model pengendalian internal dalam birokrasi seperti Majelis TPTGR dan Inspektorat Daerah, belum lagi terdapat lembaga audit laporan kekuangan secara berkala yang di lakukan oleh BPK dan BPKP. Artinya, masalah kita di Indonesia dalam mengahdapi korupsi ia ada pada kultur hokum atau wilayah kesadaran, baik internal penegak hokum itu sendiri, maupun masayarakat luas.
Menghentikan virus korupsi memang tidak bisa di lakukan secara parsial artinya tidak cukup menyiapkan berapa banyak institusi hokum dokumen normative sekian seberapa banyak lapisan sanksinya. Tetapi melawan korupsi membutuhkan keserentakan dua hal sekaligus yakni dari sisi system atau struktur, maupun dari sisi kesadaran atau kultur, atau dalam skema W. Fridman harus mencaku tiga hal yakni substansi, struktur, dan kultur. Moral-etik kalau dari struktur social atau dari perspektif teori system ia berada pada kultur atau wilayah kesadaran, hal ini makin relevan dengan motif umum keropsi yang memang berangkat dari sisi keserakan, lemahnya akan keasadaran dan tanggung awabm bahkan orinetasi kehidupan yang salah arah, oleh karena itu prepsktif moral dan etik sangat relefan untuk di jadikan sebagia basis perpektif dalam melakukan perlawanan terhadap korupsi.
Perspektif Moral
Etik atau moral merupakan sebuah anggap tentang berpikir atau berperilaku yang baik atau paling luhur. Setiap manusia yang waras pasti memilki kesadaran untuk menentukan pilihan, kesadaran tentang pilihan inilah yang menjadi objek wilayah moral atau etik. Dalam studi tentang moraitas, ada banyak teori tentang moralitas. Tetapi kalau di lakukan kategorisasi maka akan terlihat dua polarisasi yakni kelompok yang melihat bahwa moralitas itu sifatnya obejktif, universal, dan mutlak atau kognitif, sebaliknya ada teori moralitas yang melihat moralitas itu subjektif, particular, dan relative karenya moralitas itu non kognitif.
Walau terjadi pembelahan tentang moralitas universal vs moralitas particular, tidak di jumpai satupun teori moralitas yang membenarkan korupsi sebagaimana yang kita jumpai menjadi motif korupsi yang terjadi secara umum saat ini, sebab banyak korupsi yang muncul bukan disebabkan oleh pelaku dalam posisi dilematis atau posis terjepit sehingga menyebabkan terjadinya perdebatan moralitas. Akan tetapi korupsi yang mrrusak sendi kehidupan bangsa saat ini secara umum terjadi karena factor keserakahan, malah direncanakan seacara sengaja sistematis, dan terstruktur bahkan massif dari pusat sampai ke kampong-kampung.
Dalam Perspektif moralitas apapun perilaku korupsi tidak dapat dibenarkan, baik dalam sudut pandangan system Sistem Moral Sittlichkeit Hegelian, Imperative Categories Kanthian, Edonisme-Utilitarianise Benthamnian dan J.S. Mill, apalagi sistem Moral Kebajikan-Eudomonia Aristotelian, atau moralitas Profetik, jelasnya korpusi merupakan perilaku yang ditidak mendapatkan jastifiksi moral dari system moral apapun, sampai kapanpun korupsi jelas tetap merupakan perilaku jahat.
Karena itu tugas pemimpin bangsa, elit dan semua pihak untuk memimpin perlawanan terhadap korupsi. Kelompok-kelompok kritis harus terus menghidupkan keasadaran akan pentingnya perang total terhadap bahaya kurupsi, melawan dengan kesadaran, menyuarakan di mimbar mimbar akademik dan di segala momentum forum, menghidupan dalam kesadaran kebatinan, pikiran, dan perilaku. Menolak korupsi adalah menolak hidup dalam kedunguan, menolak hidup dalam kegelapan, berjuang melawan korupsi adalah ikhitiar menolak hidup dalam kegelapan dan kesetan. Kita harus berani hidup dalam terang cahaya, yakni cahaya kebenaran moral yang di landasi semangat kemanusian dan teologis sejati.
Tunduk terhadap perilaku korupsi merupakan ketudukan mental, kematian kewarasan, kematian hati nurani, kehilang jati diri, segagus matinya rasionalitas manusia. Kematian rasionalitas sama halnya dengan kehilangan kemanusiaan manusia dalam dirinya, sesorang yang membenarkan perilaku korup ia tidak lebih baik dan mulia dari binatang liar.
Tugas Para elit politik, rohaniawan, cendekiawan dan ilmuwan memberi keteladanan dalam perkiri dan perperilaku memandang dan menajdikan kekusaan sebagai mahkota suci untuk menyaurakan kebajikan dan kemuliaan, menciptakan tatanan yang adil dan egaliter. Bukan sebaliknya menjadikan kekuasaan sebagai ajang untuk membagi-bagi kekuasaan, menumpuk harta haram.
Bukankan tugas mulia manusia sejak diciptakan untuk menyuarakan kebenaran, memilih jalan kebaikan, menggelorakan semangat pembebasan, melawan segala kejahatan, dan menolak tunduk dan takluk pada kemungkaran. (*)
(Penulis merupakan Dosen STIH Muhammadiyah Bima dan Aktif di Masyarakat Hukum Tata Negara Muhammadiyah (MAHUTAMA)).