Pemilu Berintegritas Harus Menjadi Visi Bersama
Ihlas Hasan, M.Pd
(Penulis adalah Dosen Politik dan Etika Pendidikan-IAI Muhammadiyah Bima-NTB dan Direktur Pusat Kajian Perlindungan Perempuan dan Anak (PuKaP2A) NTB)
|
“Geef me goede rechter, goede rechter commissarisen, goede officieren van justitien, goede politie ambtenaren, en ik zal met een slecht wetboeken van strafprocessrecht het geode beruken”. Demikian kata Bernardus Maria Taverne dengan penuh yakin dan optimis.
B.M Taverne adalah seorang punggawa hukum kelahiran Leiden Belanda (1874-1944) pada 80-an tahun yang silam. Jika dialih bahasakan ke dalam teks Indonesia, maka kalimat Taverne di atas akan bermakna,“Berikan aku hakim, jaksa, polisi dan advokat yang baik, niscaya aku akan berantas kejahatan meski tanpa undang-undang sekalipun”.
B.M Taverne adalah seorang punggawa hukum kelahiran Leiden Belanda (1874-1944) pada 80-an tahun yang silam. Jika dialih bahasakan ke dalam teks Indonesia, maka kalimat Taverne di atas akan bermakna,“Berikan aku hakim, jaksa, polisi dan advokat yang baik, niscaya aku akan berantas kejahatan meski tanpa undang-undang sekalipun”.
Pernyataan B.M Taverne merepsentasikan bahwa dalam penegakan hukum yang sehat bukan undang-undang (UU), melainkan sangat dipengaruhi dan ditentukan oleh manusianya. UU hanyalah benda mati yang diciptakan manusia sebagai instrument untuk mewujudkan cita-cita hidup masyarakat itu sendiri secara bersama-sama. Hukum akan hidup dan tumbuh berkembang dengan sehat seiring dengan masyarakat dan aparat penegak hukum yang menjunjung tinggi nilai-nilai moral etik kehidupan.
Pada konteks dinamika penegakan hukum di Indonesia memperlihatkan kebenaran pernyataan Taverne. Bahwa warna penegakan hukum banyak ditentukan oleh komitmen dan sosok pribadi orang yang menjadi polisi, jaksa, hakim dan advokat. Dan rata-rata memiliki komitment rendah (low commitement) dalam menegakkan supremasi hukum.
Pemilu Orde Baru
Dalam hubunganya dengan kontestasi demokrasi pada 2019 mendatang, harus menjadi ruang “muhasabar politik” bagi semua elemen masyarakat Indonesia. Jangan sampai puing-puing sejarah kelam demokrasi orde baru kembali terulang.
Sejenak kita flash back. Reformasi politik pascareformasi melalui gerakan rakyat (people power) Mei 1998 berhasil menumbangkan Orde Baru. Lahir dari kenyataan, bahwa selama rezim Orde Baru, rakyat Indonesia merasakan kekecewaan yang teramat berat akibat praktik demokrasi prosedural. Hal itu seperti penyelenggaraan Pemilu 1971, 1977, 1982, 1987, 1992, dan 1997 yang tidak sesuai dengan asas dan prinsip pemilu demokratis. Sehingga penyelenggaraan Pemilu pada 2019 mendatang harus menjadi momentum emas bagi rakyat Indonesia untuk mewujudkan demokrasi yang sehat, dewasa dan bermartabat.
UU nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu beserta seluruh PKPU dan Peraturan Bawaslu harus menjadi “kitab suci” yang menjadi rujukan bersama bagi semua pihak dalam mewujudkan pemilu yang berintegritas. Kita harus memastikan bahwa semua harus secara sadar dan patuh terhadap amanah UU. Sekali lagi, UU nomor 7 Tahun 2017 tidak akan bermakna apa-apa tanpa kesadaran (awareness) kita semua untuk menjadikannya sebagai rujukan dalam pelaksanaan maupun penyelesaian masalah kepemiluan.
Potensi Pelanggaran Pemilu
Kontestasi politik selalu dihinggapi penyakit yang membawa cacat demokrasi. Cacat itu terdiri atas cacat prosedural, berupa carut marut penyelenggaraan, hingga cacat substansial berupa tingkah polah kontestan yang tidak berintegritas. Cacat yang paling berbahaya dan dikhawatirkan masih akan terjadi pada Pemliu 2019 adalah amoralitas politik.
Ruang kompetisi semakin sempit dan ketat. Antarkandidat akan berjuang keras, saling sikut, bahkan menghalalkan segala cara demi kemenangannya. Moralitas masyarakat dan kontestan akan menjadi pemandu kontestasi politik, selain regulasi hukum demi mewujudkan pilkada yang berkualitas.
Pelaksanaan pemilu tanpa hadirnya pengawasan secara cultural (masyarakat), structural-fungsional (penyelenggara pemilu) yang kokoh, berpotensi besar akan menimbulkan kompeleksitas masalah dalam penyelenggaraan pemilu, seperti maraknya politik uang (money politic), kampanye hitam (black kampange), dan pemilu yang tidak sesuai aturan. Dampak lanjutan pemilu yang tidak berintegritas akan menimbulkan sengketa dan gugatan hasil pemilu. Selain itu, pesta demokrasi yang berbiaya tinggi, hanya akan menghasilkan pemimpin yang legalitas dan legitimasinya diragukan. Pada posisi ini, rakyat yang akan menanggung kerugian yang maha besar.
Potensi bahaya selanjutnya adalah tumbuhnya konflik politik yang tidak berkesudahan. Kita harus memahami bahwa hakikat Pemilu adalah suatu mekanisme demokrasi yang sesungguhnya didesain untuk mentransformasikan sifat konflik dan perbedaan di masyarakat menjadi ajang politik yang kompetitif dan penuh integritas melalui pemilihan umum yang berjalan lancar, tertib, dan berkualitas. Pemilu merupakan sarana perwujudan kedaulatan rakyat guna menghasilkan pemerintahan Negara yang demokratis berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945, sesuai Pasal 1 ayat (2) yang berbunyi, "Kedaulatan berada ditangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar".
Pasal 22E Ayat (1) UUD 1945 menggariskan enam kriteria pemilu demokratis, yaitu langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil. Selanjutnya, UU Pemilu menambah dua kriteria lagi, yakni transparan dan akuntabel. Pemilihan umum telah menjadi fenomena global dan telah dipraktikkan, baik di negara yang telah maju demokrasinya maupun negara yang masih dalam proses transisi menuju demokrasi. Namun demikian, fenomena pemilu di berbagai negara, termasuk negara maju, masih menunjukkan bahwa pemilu tidak bisa lepas dari berbagai pelanggaran dan kecurangan (electoral malpractices). Dalam konteks inilah, konsep integritas pemilu menjadi penting karena napas yang terlanjur tumbuh dalam masyarakat, adalah menjiwai pemilu adalah politik, yang memiliki sifat dasar "menghalalkan cara untuk mencapai tujuan dan kekuasaan". Untuk itulah, menjadi tanggungjawab semua pihak untuk berperan aktif, tidak hanya penyelenggara pemilu; KPU, Bawaslu, dan Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP), tetapi peran masyarakat adalah sangat menentukan.
Pemilu Berintegritas
Pemilu berintegritas hanya dapat diwujudkan jika penyelenggara Pemilu (KPU, Bawaslu dan DKPP) berserta masyarakat, saling mendukung dan bekerja secara terbuka, profesional, imparsial, akuntabel. Dalam melakukan upaya pencegahan, semua pihak harus menumbuhkan kesadaran tertinggi untuk mencegah potensi pelanggaran yang dipotret dengan benar. Bawaslu juga harus peka memahami potensi timbulnya penggunaan isu suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA).
Sikap amoralitas politik juga harus segera dikikis, demi peningkatan kualitas demokrasi dan perbaikan nasib bangsa lima tahun mendatang. Semua pihak perlu bergandengan tangan melakukan perbaikan demokrasi. Beragam pendekatan juga penting dilakukan demi efektivitas upaya membangun. Rakyat rindu hadirnya politik bermoral demi menghasilkan kepemimpinan berkualitas. Saran Saya, tak ada salahnya masyarakat dan para kontestan mengambil teladan dari junjujungan alam Nabi besar Muhammad SAW melalui politik profetiknya. Kepemimpinan profetik mengajarkan empat sifat, yaitu jujur atau benar (shiddiq), bisa dipercaya (amanah), komunikatif (tabligh), dan cerdas (fathonah). Para konstestan kiranya penting meneladani Rasulullah sebagai modal utama memenangkan Pileg dan pemilu 2019. Sehingga pemilu berintegiritas yang menjadi visi bersama dapat terwujud.
Ayo kita sukseskan pemilu 2019…!