Mi6 : Adu Kuat Skuad Zul-Rohmi Jilid II, Siapa Jawara, Siapa Kuda Hitam dan Siapa Balik Badan?
MATARAM -- Lembaga Kajian Sosial dan Politik Mi6 haqqulyakin, H Zulkieflimansyah dan Hj Sitti Rohmi Djalilah, akan kembali berpasangan dan melenggang mulus dalam perhelatan Pilgub NTB tahun 2024 ini. Sebagai pasangan petahana, Zul-Rohmi jilid II dinilai paling siap dibanding kandidat lainnya yang kini masih hanya sekadar cek ombak.
”Petahana itu memiliki keuntungan yang signifikan dalam konteks pemilihan, karena mereka telah memiliki pengalaman dalam memimpin dan memiliki rekam jejak yang bisa dinilai oleh pemilih,” kata Direktur Mi6 Bambang Mei Finarwanto didampingi Sekretaris Mi6, Lalu Athari Fathullah dan Dewan Pendiri Mi6, Hendra Kesumah di Mataram, Rabu (20/3/2024).
Analis politik kawakan NTB yang karib disapa Didu ini menegaskan, sejumlah pihak kini memang mulai menarik-narik figur Sitti Rohmi Djalilah untuk menjadi pasangannya dalam Pilkada NTB. Misalnya muncul di publik opsi duet pasangan Penjabat Gubernur NTB saat ini HL Gita Ariadi dengan Rohmi Djalilah. Hal yang dinilai Didu sebagai suatu hal yang sah-sah saja dalam politik.
”Namanya juga usaha. Orang akan mematut-matutkan dirinya dengan figur seperti Rohmi Djalilah. Apalagi beliau merupakan representasi NWDI, salah satu organisasi massa Islam terbesar di NTB,” kata Didu.
Namun, meski ada upaya seperti itu, Didu meyakini Skuad Zul-Rohmi tidak akan pecah kongsi. Justru sebaliknya, Skuad Zul-Rohmi Jilid II dinilai akan melenggang dalam perhelatan Pilgub NTB yang akan digelar serentak dengan pemilihan bupati dan wali kota di seluruh NTB pada akhir tahun mendatang.
Memang kata Didu, perolehan 8 kursi Partai Keadilan Sejahtera di DPRD NTB yang merupakan partai tempat Zulkieflimansyah bernaung dan perolehan 3 kursi Partai Perindo yang merupakan perahu politik organisasi massa Islam NWDI tempat Rohmi berkhidmat, masih belum mencukupi untuk mengusung dalon dalam Pilgub NTB. Namun, dukungan syarat minimal 20 persen kursi di DPRD sebagai syarat ambang batas pencalonan kandidat di Pilkada, disebut Didu hanya soal waktu untuk mampu terpenuhi.
”Bagi Partai Politik, petahana itu selalu memiliki daya tarik tersendiri. Itu sebabnya Partai Politik akan lebih cenderung mendukung petahana karena mereka telah membuktikan diri sebagai kandidat yang dapat memenangkan pemilihan sebelumnya,” kata Didu.
Umumnya partai politik ingin menang. Nah, petahana yang telah berhasil dalam masa jabatannya, baik dalam hal pertumbuhan ekonomi, peningkatan infrastruktur, peningkatan layanan publik, atau pencapaian lainnya, maka pemilih cenderung memberikan dukungan lebih lanjut kepada mereka.
Selain itu kata Didu, prestasi dan rekam jejak positif petahana akan meyakinkan pemilih bahwa mempertahankan status quo adalah pilihan terbaik bagi keberlanjutan pembangunan daerah.
”Petahana juga sering memiliki keunggulan dalam hal pengenalan nama dan identifikasi dengan pemilih. Makanya, pemilih akan lebih akrab dengan nama petahana dibandingkan dengan calon yang baru,” tukas Didu.
Ditegaskannya, pengenalan nama dan reputasi yang sudah mapan, dengan sendirinya dapat membantu dalam mengumpulkan dukungan dan memperoleh suara dalam pemilihan.
*Wajib Waspada*
Meski begitu, bukan berarti pasangan Zul-Rohmi Jilid II tak memiliki tantangan. Adanya perubahan sentimen politik kata Didu, dapat menjadi faktor yang signifikan dalam menentukan hasil pemilihan Pilkada, dan petahana perlu memperhatikan perubahan tersebut dengan cermat.
Dia mengatakan, sentimen politik dapat berubah secara signifikan seiring waktu, terutama dalam menanggapi peristiwa-peristiwa politik, sosial, atau ekonomi yang penting. Di sini, Petahana dituntut harus memperhatikan pergeseran opini publik terkait dengan kinerja pemerintahan mereka.
Selain itu, biasanya akan muncul pula isu-isu baru yang mendapat perhatian publik atau meningkatnya kesadaran akan isu-isu tertentu dapat mengubah dinamika politik secara signifikan. Petahana kata Didu, harus siap menanggapi isu-isu baru ini dengan cepat dan efektif, baik dengan menyampaikan solusi konkret atau dengan mengadaptasi platform media kampanye mereka untuk mencakup isu-isu yang baru muncul.
Yang tidak kalah penting, sekarang di NTB sedang terjadi Perubahan Demografi Pemilih. Perubahan tersebut ada dalam komposisi usia, pendidikan, atau latar belakang ekonomi. Dan biasanya kata Didu, hal ini dapat mempengaruhi preferensi pemilih dan dinamika politik.
”Petahana perlu memahami perubahan demografi ini dan memperhitungkannya dalam strategi kampanye mereka jika ingin menang kembali,” kata Didu.
Contoh paling mutakhir untuk menggambarkan perubahan demografi pemilih ini kata Didu, adalah ajang pesta demokrasi tahun 2024 yang belum lama lewat. Di NTB misalnya, banyak kandidat yang di atas kertas harusnya akan melenggang kembali dengan mulus, namun nyatanya tidak demikian. Yang terjadi, justru banyak yang bertumbangan dan tergantikan oleh pendatang baru.
Pengaruh endorsement politik atau dukungan dari tokoh politik atau figur masyarakat terkemuka, juga layak mendapat perhatian. Ini terutama kata Didu, lantaran terjadinya perubahan kepemimpinan di tingkat nasional.
”Endorsment itu dapat memengaruhi opini publik dan mobilitas politik. Petahana perlu memperhatikan pergeseran dalam dukungan politik dan meresponsnya dengan strategi yang sesuai,” kata Didu.
Di luar itu, para pesaing tentu akan berusaha mengeksploitasi kelemahan petahana sebagai salah satu upaya menarik simpati pemilih. Kegagalan dalam memberikan pelayanan publik yang memadai, menangani isu-isu sosial, ekonomi, atau lingkungan, atau skandal korupsi akan banyak dibuka sebagai upaya merusak citra petahana dan menurunkan tingkat kepercayaan masyarakat terhadap mereka. Dalam pengalaman, kata Didu, kinerja pemerintahan yang buruk bisa menjadi alasan utama untuk pemilih mencari opsi lain.
Ketidakpuasan pelayanan publik mungkin juga akan dimunculkan pesaing. Manakala ada keluhan yang tidak ditanggapi atau tidak terselesaikan dengan baik dapat menimbulkan ketidakpuasan di antara warga, akan menjadi senjata bagi penantang.
”Pelayanan publik yang buruk, seperti infrastruktur yang rusak, layanan kesehatan yang tidak memadai, atau pendidikan yang kurang berkualitas, dapat menjadi pemicu utama pemilih untuk mencari alternatif lain,” kata Didu.
Pun jika ada kemunduran ekonomi lokal, juga pasti akan dieksploitasi penantang. Jika ada daerah di NTB yang mengalami kemunduran ekonomi atau ketidakstabilan, pemilih mungkin akan dengan mudah menyalahkan petahana atas masalah tersebut dan mencari kandidat baru yang dianggap memiliki rencana yang lebih baik untuk memperbaiki situasi.
Termasuk juga jika ada ketidaksetaraan sosial dan ekonomi. Juga pasti diungkap. Sebab, pertumbuhan yang tidak merata dan peningkatan ketidaksetaraan sosial dan ekonomi di suatu wilayah dapat menimbulkan ketidakpuasan di kalangan warga yang merasa tidak diakomodasi oleh kebijakan pemerintahan petahana.
Patut diwaspadai pula ketidakpuasan terhadap kepemimpinan. Sebab, kata Didu, kurangnya kepemimpinan yang efektif atau adanya persepsi bahwa petahana tidak mampu memimpin dengan baik dapat mengarah pada ketidakpercayaan terhadap kemampuan mereka untuk terus memimpin.
”Jangan lupa, dalam setiap Pilkada, selalu ada pula fenomena pendukung yang berpaling. Bisa jadi karena kekecewaan terhadap kebijakan atau kinerja petahana,” tandas Didu.
*Calon Alternatif*
Meski meyakini Zul-Rohmi jilid II akan melenggang mulus di panggung Pilgub NTB 2024, Didu tetap mendorong agar Pilgub NTB menghadirkan calon-calon alternatif.
Karena itu, kemunculan figur-figur seperti mantan Duta Besar Indonesia untuk Turki Lalu Muhammad Iqbal yang kini rajin berkeliling menyapa warga, disambut baik oleh Didu. Juga kemunculan figur seperti HL Fathul Bahri, Bupati Lombok Tengah yang juga Ketua DPD Partai Gerindra NTB. Atau nama Ketua DPD I Partai Golkar NTB H Mohan Roliskana dan koleganya sesama Partai Beringin Hj Indah Damayanti Putri yang kini merupakan Bupati Bima. Termasuk juga kemunculan figur Bupati Sumbawa Barat Musyafirin dan mantan Bupati Lombok Timur H Sukiman Azmi, dan figur lain, yang kesemuanya kata Didu layak diapresiasi.
Selain itu Dir Mi6 menduga sebagai Petahana , Zul Rohmi Jilid II dikaitkan dengan munculnya *Calon Alternatif* ibaratnya menghadapi kepungan para aliansi Petarung dan *Pekembar* politik dalam palagan kontestasi Pilgub NTB 2024 dengan berbagai bendera dan jargonnya
"Endingnya siapa nanti yang jawara, siapa jadi kuda hitam dan Siapa yang balik badan tanpa membawa piala apapun," tandas didu.
Mantan Eksekutif Daerah Walhi NTB dua periode ini menekankan, kehadiran calon alternatif sebagai penantang petahana, adalah prinsip fundamental dalam sistem demokrasi. Memiliki lebih dari satu pilihan memberikan kesempatan kepada pemilih untuk mengevaluasi kinerja petahana dan alternatif lainnya.
”Ini memperkuat prinsip persaingan sehat dan memberikan kekuasaan kepada rakyat untuk membuat pilihan yang sesuai dengan kebutuhan dan aspirasi mereka,” kata Didu.
Kehadiran calon alternatif juga di sisi lain, akan menciptakan tekanan bagi petahana untuk mempertanggungjawabkan kinerjanya selama masa jabatan. Dengan adanya kompetisi, petahana diharapkan menunjukkan pencapaian dan memberikan solusi atas masalah yang dihadapi masyarakat. Ini mendorong transparansi dan meningkatkan tingkat akuntabilitas dalam pemerintahan.
”Dalam banyak kasus, petahana mungkin tidak mewakili kepentingan semua segmen masyarakat. Kehadiran calon alternatif memberikan kesempatan bagi kelompok-kelompok yang sebelumnya tidak terwakili atau diabaikan untuk memiliki suara dalam proses politik,” kata Didu.
Selain itu, calon alternatif juga sering kali membawa gagasan dan visi baru untuk pengembangan daerah. Mereka mungkin membawa pengalaman dari latar belakang yang berbeda atau memiliki pendekatan yang berbeda terhadap masalah yang dihadapi. Dengan demikian, keberadaan calon alternatif merangsang kompetisi ide dan inovasi dalam kebijakan publik serta program pembangunan.
Kehadiran calon alternatif juga mencegah monopoli kekuasaan dan pembentukan dinasti politik. Tanpa alternatif yang layak, petahana mungkin memiliki keunggulan yang tidak adil dalam pemilihan, yang pada gilirannya dapat mengarah pada penyalahgunaan kekuasaan dan stagnasi dalam pembangunan daerah.
”Jangan lupa pula, persaingan yang sehat antara calon alternatif dan petahana sering kali meningkatkan minat dan partisipasi pemilih dalam proses pemilihan. Pemilih cenderung lebih terlibat dan menyelidiki opsi-opsi yang tersedia, yang pada akhirnya meningkatkan legitimasi hasil pemilihan,” Pungkasnya.(ZR)
Tidak ada komentar
Posting Komentar