Omnibus Law UU Cipta Kerja, Law is Society?
Syahrullah SH MH
Omnibus law, menjadi buah bibir di kalangan masyarakat Indonesia hampir sepanjang tahun ini. Di tengah pandemic virus corona tidak menyurutkan langkah mahasiswa, buruh dan masyarakat lainnya melakukan protes atas ditetapkannya UU dengan bentuk Omnibus law. Sementara pihak pemerintah dan DPR tak bergeming dan terus melanjutkan upaya pengesahan RUU tersebut menjadi UU. Dan saat ini, tepatnya 2 Nopember Omnibus Law telah diteken menjadi UU No. 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja.
Timbul pertanyaan yang menggoda kita apa sih omnibus law itu? Mengapa masyarakat tidak menerima UU ini?
Omnibus law
Secara terminologi, omnibus berasal dari Bahasa Latin yang berarti untuk semuanya. Dalam konteks hukum, omnibus law adalah hukum yang bisa mencakup untuk semua atau satu undang-undang yang mengatur banyak hal.
Prof. Jimly Asshidiqie dalam sebuah diskusi during yang diselenggarakan oleh Jimly School omnibus law itu hanya metode pembuatan UU yang mengatur banyak materi muatannya yang disusun dalam satu paket UU. Omnibus law biasa dipakai oleh penganut system anglo saxon, sama dengan Kodifikasi pada system Civil law.
Dengan kata lain, omnibus law artinya metode atau konsep pembuatan regulasi yang menggabungkan beberapa aturan yang substansi pengaturannya berbeda, menjadi satu peraturan dalam satu payung hukum.
Memang dalam kehidupan bernegara bangsa yang modern, semula hukum itu disusun oleh suatu badan legislatif( DPR). Materinya muatannya yang digali dari praktek kebiasaan dalam kehidupan nyata warga masyarakat. Lalu dirumuskan secara tertulis dalam suatu kitab UU sehingga praktek kebiasaan kehidupan nyata tadi menjadi hukum positif. Lantas terjaga kepastiannya.
Hukum undang-undang itu dibentuk atau dibuat dalam wujud preskripsi-preskripsi normatif, dengan harapan akan dapat berfungsi dengan baik sebagai acuan perilaku manusia dalam masyarakatnya, yang kemudian daripada itu apabila bisa memenuhi ekspektasinya akan memungkinkan terwujudnya tatanan kehidupan bermasyarakat yang tertib dan terintegrasi tinggi.
Sejarah mencatat bahwa code civil de France merupakan kodifikasi dari hal-hal yang dipraktekan di tengah kehidupan nyata masyarakat Prancis kala itu. Disusun oleh suatu komisi yang terdiri dari 4 orang yuris di bawah pimpinan Cambacérè.
Prof Soetandyo (2012), mengisahkan bahwa dalam sejarah kodifikasi hukum-hukum nasional dari negeri-negeri Barat bahwa hukum nasional – yang disistematisasikan ke dalam kitab-kitab dan diintegrasikan oleh doktrin-doktrin yang dirawat oleh seangkatan kaum professional - itu sesungguhnya merupakan hasil positivisasi dan nasionalisasi saja dari hukum rakyat yang tradisional.
Code civil de France yang dikenali juga dengan nama Napoleonic Code, misalnya, sesungguhnyalah merupakan hasil pengkitaban resmi Coutume de Paris (1804), sebagaimana Burgerlijk Wetboek Belanda merupakan hasil pengkitaban Oude Hollandse recht (1830).
Apakah omnibus law ini juga sama dengan cara kodifikasi tempo doeloe di Prancis dan Belanda? Perlu pengkajian yang mendalam. Mestinya Law is always society as well as society is always in the law. Tetapi, adakah selamanya demikian?
Barangkali Eugen Ehrlich itulah orangnya (Fundamental Principles of The Sociology of Law, 1975) yang pertama-tama mencatat dan menyiarkan kenyataan bahwa , law is not – or not always – society.
Apabila hukum negara yang dikenali juga sebagai hukum perundang-undangan nasional yang positif itu tidak berawal dari hukum rakyat yang hidup dalam masyarakat. Alih-alih, hukum negara itu, walau dinyatakan resmi sebagai hukum nasional, akan tetap saja terpandang sebagai hukum asing, sebagaimana hukum Perancis tatkala diterapkan untuk penduduk Bulgovina yang mempunyai kesadaran akan berlakunya hukumnya sendiri yang hidup.
Demikian juga Indonesia, tidak semua elemen masyarakat akan langsung dapat menerima UU Cipta Kerja ini. Sayangnya, ketidakterimaan itu acap kali diekspresikan dengan demonstrasi yang anarkis, kritik yang tidak konstruktif, bahkan juga narasi-narasi intimidatif yang menyimpan makna pesimisme di dalamnya. Apakah UU Ini dipandang asing oleh bangsanya sendiri?
Dari sinilah datangnya keyakinan sosiologik Prof Sutandyo, bahwa dengan begitu diyakinilah bahwa law is society. Diyakini bahwa selama apa yang dipreskripsikan dalam hukum undang-undang itu masih tetap paralel secara substantif dengan apa yang berlaku dalam masyarakat selama itu tidaklah ada masalah dengan berlakunya hukum undang-undang dalam masyakarat.
Berbekalkan semangat nasionalisme yang tinggi, hukum segera saja diefektifkan as a tool of social engineering di bawah kendali pusat untuk mempercepat jalannya pembangunan. Semangat persatuan dan kesatuan bangsa berimbas kuat pada semangat untuk menundukkan seluruh kehidupan bangsa ke bawah satu standar perilaku yang dipositifkan sebagai undang-undang.
Sungguh benar apa yang dikemukakan Lawrence Friedman (dalam bukunya The Legal System: A Social Science Perspective, 1975) bahwa untuk kepentingan analisis teoretik, demi kedayagunaannya yang praktikal, hukum nasional itu, sebagai suatu sistem institusional, mestilah dikenali dalam tiga elemen. Ketiga elemen itu ialah substansi perundangundangan, struktur organisasi pengadaan beserta penegakannya, dan yang ketiga ialah kultur yang akan ikut menjadi determinan bermakna-tidaknya hukum dalam kehidupan nasional dari hari ke hari.
Adalah suatu kekeliruan apabila upaya mengefektifkan bekerjanya hukum, – orang hanya berkonsentrasi pada kerja memperbaiki atau mengamandemen hukum perundang-undangannya saja, tanpa membenahi struktur organisasi yang ada pada sistem hukum nasional.
Demikian juga permasalahannya, apabila dalam kerja-kerja penegakan hukum orang hanya berkonsentrasi pada intensi kekuatan struktural dan mengabaikan interpretasi kultural para insan penerima manfaat dari hukum dan pencari keadilan.
(Penulis, Dosen STIH Muhammadiyah Bima)
Tidak ada komentar
Posting Komentar