Generasi Profetik Dalam Menjawab Problematika Umat
Abdul Kader, SPd.I |
Tulisan ini sebagai respon positif terhadap berbagai kajian dan kegiatan yang pernah penulis ikuti yang membahas tentang profetik dan juga sebagai wujud keikutsertaan penulis dalam mensosialisasikan tema profetik agar tercipta kondisi ideal sebagaimana yang menjadi cita-cita etik profetik. Penulis sengaja mengangkat tema "Generasi Profetik" karena ingin memperkenalkan kepada para pembaca tentang misi profetik, serta bertujuan untuk membangkitkan semangat generasi muda untuk meneruskan misi profetik karena sejatinya generasi muda sebagai penentu masa depan bangsa dan Negara serta agama, karena di pundaknya di titipkan amanah untuk menentukan arah bangsa dan Negara serta agama.
Istilah Profetik pertama kali dipopulerkan oleh Kenneth Boulding seorang Filosof Sosial dan Ekonomi Amerika Serikat. Ia membedakan antara agama kependetaan dan agama profetik menurutnya agama monoteis menjadi penggerak perubahan social di masyarakat, pada posisi itulah agama dikatakan oleh Boulding bersifat profetik (Ridwan 2017) Kuntowijoyo sendiri terinspirasi dari pemikiran Muhammad Iqbal dan Roger Garaudy.
Dalam bukunya (Membangun Kembali Pikiran Agama dalam Islam) Muhammad Iqbal mengungkapkan kembali kata-kata seorang sufi bahwa ketika Nabi Muhammad S.A.W melakukan mi'raj beliau telah sampai ke tempat yang paling tinggi yang menjadi dambaan ahli mistik (Sufi), tetapi karena Nabi Muhammad S.A.W memikirkan tugas kerasulannya akhirnya Ia kembali ke bumi untuk menyampaikan risalah kepada segenap manusia. Pengalaman keagamaan yang luar biasa itu tidak mampu menggodanya untuk berhenti menyampaikan dakwah. Akan tetapi Ia menjadikannya sebagai kekuatan psikologi dan suntikan semangat untuk mengubah manusia (Kuntowijoyo, 2006).
Pada intinya Nabi Muhammad bukanlah seperti mistikus yang puas dengan pencapaian secara pribadi (kesolehan pribadi). Selanjutnya dari Roger Garaudy menurutnya filsafat Barat tidak akan mungkin menjadi solusi bagi manusia modern, karena banyak hal yang tidak memuaskan, sebab hanya terombang-ambing antara dua kutub, idealis dan materialis tanpa berkesudahan. Filsafat Barat itu lahir dari pertanyaan bagaimana pengetahuan itu dimungkinkan. Ia menyarankan agar pertanyaan itu dirubah menjadi bagaimana wahyu itu dimungkinkan. Ia melanjutkan bahwa satu-satunya cara untuk menghindari kehancuran peradaban adalah dengan mengambil kembali warisan Islam karena filsafat barat telah membunuh Tuhan (Antroposentris) dan manusia (Teosentris). Oleh karena itu Ia menganjurkan agar manusia memakai filsafat kenabian dari Islam dengan memakai wahyu. (Tiara Wacana, 2017).
Generasi Profetik bukan sekedar generasi yang taat dan patuh terhadap perintah Allah secara personal (shalat, zakat, puasa, haji, dan lain sebagainya) atau mementingkan keshalehan secara personal, melainkan lebih dari itu generasi profetik adalah generasi yang memiliki misi meneruskan perjuangan dan misi kenabian. Generasi profetik bukan sekedar ingin merubah demi perubahan, tetapi juga memberikan petunjuk ke arah mana perubahan/tranformasi itu dilakukan dan untuk apa serta oleh siapa (Kuntowijoyo, 2017). Perubahan yang dilakukan oleh generasi profetik adalah memuat kandungan cita-cita yang di idamkan oleh masyarakat, yakni masyarakat yang adil dan egaliter. Sederhananya perubahan yang dimaksud hendaknya didasarkan pada cita-cita etik profetik humanisasi/emansipasi, liberasi dan transendensi. Semua itu termuat dalam QS. Al-Imron: 110 "Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang ma'ruf, dan mencegah dari yang munkar, dan beriman kepada Allah". Ayat ini memuat tiga hal yaitu, amar maruf, nahi mungkar dan tuminunabillah. Ketika tiga muatan itu dapat di implementasikan, maka complete kita menjadi umat terbaik atau dengan kata lain generasi profetik.
Gerakan Humanisasi.
Pada esensisinya, humanisasi dimaksudkan untuk memanusiakan manusia. Kita sadar dimana hari ini kita mengalami proses dehumanisasi, karena masyarakat industrial menjadikan kita sebagai bagian dari masyarakat abstrak tanpa wajah kemanusiaan. Moral manusia di era modern ini seakan sudah hilang, kemaksiatan terjadi dimana-mana, kemiskinan structural kian bertambah angkanya, maka mestinya kita hadir untuk menyelamatkan umat dan bangsa yang kian terpuruk. Kita yang terdidik dan tercerahkan yang memiliki ide dan gagasan wajib untuk menjadi problem solver terhadap bangsa yang sedang mengalami krisis moral di era milenial ini dengan cara mempertahankan dan mengembalikan moral kemanusiaan itu sendiri.
Gerakan Liberasi.
Setelah kita melaksanakan gerakan humanisasi, hendaklah kita sebagai generasi profetik melakukan gerakan liberasi (pembebasan) dari kekejaman kemiskinan struktural, keangkuhan teknologi, pada intinya kita harus bisa melepaskan belenggu keterpurukan yang sekian lama mengikat masyarakat.
Gerakan Transendensi.
Dalam setiap gerakan humanisasi dan liberasi kita mestinya menambahkan dimensi transsendental di dalamnya, karena Tuhanlah yang menjadi tujuan akhir dari kehidupan di dunia yang fana ini. Saatnya kita bangkitkan kesadaran bahwa kita perlu membersihkan diri dengan cara mengingat kembali bahwa dimensi transsendental yang menjadi bagian sah dari fitrah kemanusiaan. Kita ingin merasakan dunia ini sebagai rahmat dari tuhan.
Transendensi juga akan menyadarkan kita bahwa perubahan yang kita cita-citakan bukan hanya sekedar perubahan, melainkan harus mengandung nilai keimanan dan ketakwaan kepada Tuhan yang Maha Esa. Oleh karena itu sudah selayaknya kita sebagai generasi terutama yang islam meletakkan Allah sebagai otoritas tertinggi yang Maha obyektif, dengan 99 Asmanya yang indah itu, dan saatnya kita melepaskan diri dari belenggu doktrin sesat dari Barat sebagaimana yang dipersangkakan oleh sekuralisme bahwa Tuhan sudah tidak ada (God is dead), Zen Buddhisme (Children of God) (Kuntowijoyo, Mizan 2001) yang sangat kontradiksi dengan ke-Esaan Allah S.W.T. Kita ingin Tuhan benar-benar dihadirkan dalam setiap urusan kita bukan seperti Behaviorisme B.F Skinner yang tidak memberikan tempat kepada Tuhan.
Dalam perspektif Islam tolok ukur kemuliaan manusia adalah terletak pada keimanan dan ketakwanya kepada Tuhan, sesuai Firman Allah dalam QS. Al-Hujurat ayat: 13 yang berbunyi "...Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling taqwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Mengenal".
Dengan demikian, generasi sebagai ujung tombak perjuangan untuk mewujudkan negeri tercinta ini menuju Civil Society, maka hendaknya kita membangun kesadaran, karena perjuangan sejati adalah membangun kesadaran dan sebaliknya musuh sejati kita adalah sifat pragmatis. Saatnya kita bergerak untuk menjadi pelopor perubahan, tidaklah elok kalaulah kita masih diperbudak oleh doktrin-doktrin sesat, tinggalkan debat yang tiada guna, saatnya bergerak, walau mungkin terlambat sampaikan walau satu ayat, biar hidup ada manfaat agar kelak mendapat syafaat. Kalau bukan kita siapa lagi, kalau bukan sekarang kapan lagi?. Ayo bergerak, tegakkan kebenara walau langit runtuh karena kita adalah generasi hebat.
Akhirnya semoga tulisan ini menjadi suntikan spirit bagi para generasi muda, agar membangkitkan kesadaran akan eksistensi dirinya sebagai agent of change. Semoga tulisan menjadi bahan renungan kita bersama, terlebih lagi penulis agar tetap menebar kebaikan. (*)
Penulis adalah Kader IMM Cabang Bima dan Alumni Institut Agama Islam (IAI) Muhammadiyah Bima.