Balada Fir'aun Adalah Negara Ateis.
Anwar Sadat, M.Pd |
Babak baru kisah dakwah yang mencerahkan itu dimulai pada ayat 103, pada saat Allah mengutus Musa dengan membawa bukti-bukti yang nyata kepada Fir’aun dan Menteri-Menterinya (Malâihi). Sebelum menyampaikan bukti itu, Musa memperkenalkan dirinya bahwa Dia telah didelegasikan oleh Tuhan semesta Alam (innî rasûl min rab al-âlamîn, ayat 104) untuk menyatakan yang sebenarnya-benarnya tentang Allah (aqûlu ‘ala allah ilal haq, ayat 105).
Bukti yang hendak ditunjukkan Musa tidak langsung ditolak oleh Fir’aun tetapi diberikan kesempatan dengan syarat Musa harus jujur “jika kamu termasuk orang-orang yang benar” (in kunta min al-shâdiqîn, ayat 106), ternyata bukti yang dimaksud adalah tongkat (‘asha) yang bisa berubah menjadi ular yang nyata (tsu’bânun mubîn, ayat 107), yang memancarkan cahaya kebenaran dan melulu lantahkan kedzoliman (baidhâ li linâdzirîn, ayat 108).
Tongkat (‘asha) sebagai bukti material atau mukjizat dari Tuhan sangat relevan dengan peradaban sihir yang berkembang pesat pada zaman itu, kekaguman para Menteri Fir’aun dengan kehebatan Musa “ini Pesihir yang sangat cerdas “ (inna hadza la saâhirun alîm, ayat 109) sehingga mereka merasa terancam kekuasaannya akan berakhir.
Dalam situasi ancaman itu, Fir’aun meminta pendapat para menterinya, strategi apa yang harus dilakukan? (famâdza tamurûna, ayat 110), Utuslah beberapa orang agar melobi para Pesihir di Negara lain untuk melawan Musa. Usulan Menterinya di disposisi oleh Fir’aun dengan mendatangkan Pesihir impor yang mampu mengalahkan Musa dengan janji akan diberikan imbalan yang sangat besar (ajrâ) jika mereka menang, ternyata para Pesihir impor tersebut, dikalahkan oleh Musa setelah melewati berbagai fase pertarungan yang sengit dan mereka tunduk dan menyatakan keimanan kepada Tuhan semesta alam.
Dengan pertolongan Allah, Musa mampu memberikan bukti-bukti nyata dan menghancurkan tata pemerintahan Fir’aun yang dibangun tanpa nilai-nilai ilahiyah (ateis) atau peradaban yang tuna moral disebabkan Negara dan sistem kenegaraan dijalankan dengan cara otoriter. Segala pemikiran dan tindakan yang bertentangan dengannya dianggap sebagai tindakan makar (inna hadza la makrun, ayat 123), maka harus dipenjarakan, bahkan dibunuh (la uqathi’ana aidiyakum, arjulakum, usalibannakum, ayat 124).
Menurut Fir’aun, Pemikiran dan tindakan yang baik adalah pemikiran dan tindakan yang sejalan dengan sistem yang Dia tegakkan tanpa ada kompromi dan dialog (hiwâr) di dalamnya, meskipun kebijakan-kebijakan itu sangat bertentangan dengan nilai-nilai universal seperti keadilan, kesejahteraan, keamanan dan lain-lain.
Semuanya harus mendapatkan ijin darinya, berdakwah harus mendapatkan ijin, berceramah harus mendapatkan ijin, menjalankan ajaran agama jika bertentangan dengan dogma Negara harus dihancurkan meskipun ajaran agama yang dijalankan itu mengandung prinsip-prinsip ketauhidan yaitu ajaran yang disampaikan Nabi Musa dan Harun (rab mûsaâ dan hârûn, ayat 121).
Penulis adalah Dosen IAI Muhammadiyah Bima dan Ketua Majelis Pendidikan Kader PD. Muhammadiyah Kabupaten Bima dan Ketua Bidang Dakwah dan Pengkajian Agama PD. Pemuda Muhammadiyah Kota Bima.