Oemar Bakrie
Asikin Rasila |
Oemar Bakrie, mengingatkan kita pada tembang lawas Iwan Fals, pada dekade delapan puluhan, bahkan sekarangpun masih terdengar dan dinyanyikan oleh generasi muda, terlebih para fans Iwan Fals yang menamakan dirinya komunitas OI (Orang Indonesia). Sebuah syair dan lirik yang otokritik, telah menjadikan lagu ini identik dengan profesi guru. Kini Oemar Bakrie sekarang telah bermetamorfosa dari mengayuh sepeda kumbang ke tarikan gas dan injakan gas. Perubahan ini pun juga tidak serta merta dirasakan oleh seluruh guru yang ada di Indonesia.
Dibagian Timur Indonesia, papua, sering kita menyaksikan lewat media televisi, bukan lagi mengayuh sepada kumbang apalagi tarikan gas dan injakan gas, mereka harus melewati puluhan kilometer dengan jalan setapak bahkan harus membuat jalan sendiri, melewati sungai, ngarai bahkan penguhuni hutanpun mereka harus hadapi, ya, niat dan semangat yang luar biasa hanya untuk mencerdaskan anak negeri.
Inilah, baru sekelumit cerita, bagaimana perjuangan Sang Oemar Bakrie ini tanpa lelah dan pesimis meretas hal-hal yang mustahil menjadi cahaya bagi masyarakat yang jauh dari kehidupan glaomur perkotaan. Belum lagi di sudut – sudut daerah yang lain seperti kalimantan, sumatera dan daerah-daerah yang termarginalkan, pada sudut-sudut kehidupan itu, mereka menuliskan ceritanya sendiri, atas suguhan-suguhan cadasnya alam yang mereka lalui saban waktu dan hari. Mereka melipat ceritannya dengan nyanyian suka dan duka.
Ada celah cahaya, ketika Sang Oemar Bakrie, menjalani panggilan jiwa, yakni pemerintah menghargai jasa pendidik, dengan istilah “sertifikasi” artinya ada tunjangan profesi guru yang diterima. Bagi guru, ini suatu kesyukuran, melihat kenyataan bahwa guru memang harus mendapat penghargaan yang layak, karena di pundak gurulah masa depan generasi bangsa, menjadi sebuah bangsa yang bermartabat. Dibalik dari rasa syukur itu, untuk mendapatkan sertifikasi itupun, tidak segampang kita mengucapkan sim salabim, ada tahapan proses yang harus dilewati. Ada melalui Dokumen portofolio yang penulis ingat ini adalah awal-awal para Oemar Bakrie mendapatkan sertifikasi, kemudian PLPG, dan PPG. Tiga metode yang dilalui ini, sudah jelas memilki proses yang berbeda, muara akhirnya sama mendapatkan sepucuk “Sertifikat Pendidik” bukan mustahil bagi yang sudah melalui itu semua, bahkan sudah mendapatkan pengakuan guru sertifikasi, dengan adanya “sertifikat pendidik” masih saja ada guru yang belum mendapatkan sertifikasi.
Para guru, memberikan apresiasi yang besar terhadap kontribusi yang diberikan oleh pemerintah, terutama adanya tunjangan sertfikasi guru, Namun, tunjangan itu, bukan semulus yang kita harapkan, Kenapa demikian? Inilah yang dialami guru saat ini, bukan hanya yang terjadi wilayah Kota Bima dan Kabupaten Bima, namun seluruh Daerah yang ada di Indonesia, terutama memang yang belum diverifikasi oleh oleh sebuah aplikasi yang namanya dapodik, karena di dalam dapodik itulah, akan muncul linearitas atau belum linearitas. Belum bagi yang kekurangan jam, guru-guru pun harus mencari tambahan jam pada sekolah lain agar mendapatkan pemenuhan 24 jam.
Cahaya yang semestinya bergerak sejajar dengan nafas guru, sebagai penopang dalam merengkuh nilai sejahtera, kini sebagian para pencerdas generasi itu, harus dihadapkan pada sebuah aplikasi yang notabene membuat proses pemferivikasian data agak tersendat karena optimalisasi dari aplikasi itu masih tidak sejalan dengan piranti-piranti yang ada pada masing-masing sekolah.
Kompleksitas yang dirasakan oleh para pahlawan tanpa tanda jasa ini, memberikan dampak yang luar biasa, penulis yakin konsentrasi dalam menjalankan tugasnya sebagai guru, akan terganggu bilamana, harus disibukan dengan mencari tambahan jam, dan yang lebih parah adalah guru tidak linearitas sesuai dengan mata pelajaran seperti tertera pada lembar sertifikat pendidik. Padahal guru tersebut sudah mendapatkan sertifikat pendidik. Jelas secara psikologis, guru tersebut akan terganggu.
Kendatipun demikian, sosok seorang guru memilki rasa tanggung jawab yang besar terhadap perserta didik, terkecuali bagi bagi guru yang benar-benar tidak peduli. Namun menurut penulis, guru yang memilki sikap demikian hanya nol koma sekian persen saja. Dan kembali kepada fitrah sebagai seorang guru yang memilki naluri seorang pendidik akan menjauhkan dari kepribadian yang mencoreng citranya selaku teladan generasi.
Kini sang Oemar Bakrie itu, akan terus menerus melakukan metamorfosa, seiring dengan pergeseran waktu dengan segala konsekwensi yang dihadapi, karena sejatinya engkaulah pahlawan sebenarnya. (*)