Momentum Hari Guru Nasional
Asikin Rasila |
(Pengajar di SMA 4 Kota Bima dan Pengurus Dewan Kesenian Kota Bima)
Pada saat penulis mengikuti workshop “peningkatan kualitas layanan pendidikan melalui internalisasi nilai-nilai budaya, yang berlangsung di aula kantor Wali Kota Bima, sabtu (18/11/17), salah satu narasumber dari Jakarta Retno Listyarti (Sekjen Federasi Guru Indonesia), mengatakan ada masalah yang mendasar yang harus dibenahi dalam pendidikan: Implementasi kurikulum 2013 yang carut marut, penerapan perpres tentang PPK, lunturnya keragaman di sekolah, meningkatnya kekerasan dalam pendidikan (darurat kekerasan), masih maraknya korupsi pendidikan.
Apa yang disampaikan oleh ibu retno ini, menjadi sebuah tanda tanya besar bagi penulis, separah itukah problemantika yang terjadi pada dunia pendidikan? Permasalahan yang mendasar itu jelas diperkuat oleh data-data yang telah dirilis oleh oleh para peneliti perorangan maupun lembaga antara lain yaitu Kualitas siswa berdasarkan Assesment Internasional yaitu riset PISA (membaca) dan TIMMS (bernalar) posisi siswa indonesia selalu jeblok ( 2003, 2006, 2009 dan 2012), Kualitas guru berdasarkan penelitian Work Bank (2012) kualitias guru Indonesia terendah urutan 12 dari 12 Negara Asia hasil uji kompetensi guru (UKG) yang diselenggarakan kemendikbubd hanya 4,30 dari nilai 7,00, Sistem pendidikan nasional pendidikan nasional kita selama sepuluh tahun terakhir terpuruk the learning curve 2014 yang baru dirilis Pearson memosisikan Indonesia sebagai sebuah Negara dengan sistem pendidikan terburuk yaitu berada pada urutan terakhir dari 40 Negara pada 2013, kita berada pada urutan ke 39 dari 40 Negara, Keterpurukan ini terjadi karena berbagai macam kebijakan pendidikan yang abai terhadap nilai – nilai moral dan prinsip – prinsip pedagogik pembelajaran.
Menyoal keterpurukan dari data-data yang dirilis, begitu peliknya keadaan pendidikan di indonesia, sebegitu rendahnya keadaan pendidikan, setingkat asia saja kita berada pada nomor yang terakhir untuk kualitas gurunya. Melihat kenyataan ini membuat miris dan Menampar kedirian kita.
Tentunya pemerintah tidak tinggal diam melihat reaiatas dunia pendidikan ini. Penggantian kurikulum 2006 menjadi kurikulum 2013 diharapkan mampu mengurai benang kusut yang sampai saat ini menggurita, melilit program pendidikan (baca: belum sepenuhnya kurikulum 2013 diterapkan ditingkat sekolah). Bahkan diakuipun penerapan kurikulum 2013 ini masih mencari formala yang tepat.
Dan masih menurut ibu retno, resep yang diawarkan oleh pemerintah, dalam analisisnya, kalau salah obat, bisa mengakibatkan kehancuran bagi bangsa indonesia. Yang dibutuhkan dalam memperbaiki pendidikan di indonesia adalah membenahi guru dari hulunya. Penulis pikir ini, sangat tepat karena hilirnya akan tergantunng dari hulunya. Bagaimana mau meningkatkan kualitas siswa, sementara kuliatas gurunya hanya tertulis di dalam kertas, namun penulis tidak mengeneralisasi keadaan guru. Sebaliknya ini menjadi akan menjadi titik balik, untuk menjadi yang berkualitas.
Untuk mengejar dan membenahi ketertinggalan itu, pemerintah memberikan kontribusi penuh terhadap peningkatan sumberdaya baik SDM guru maupun sarana prasarana. Karena bagaimanapun persolan proposionalitas distribusi piranti-piranti yang mendukung mutu dan kualitas pendidikan mutlak dilaksanakan. Yang menjadi skala prioritas adalah menjadikan tenaga pendidik yang memilki kualifikasi standar.
Dengan memilki kriteria dan standar yang dharapkan, akan selinier dengan hasil yang diharapkan. Kita tahu sendiri, misalnya banyak persoalan-persoalan yang berkaitan dengan karakter siswa, namun masih jauh panggang dari api. Artinya 18 (delapan belas) karakter dalam Perpres No. 87/2017 secara implikatif belum nampak menggugah wilayah personality siswa.
Tentu kita tidak mengharapkan persoalan karakter berbudaya dalam sekolah, berlarut-larut dan akut. Proses yang berjalan ini akan terus berjalan seiring waktu, karena tidak semudah membalikan telapak tangan. Melahirkan generasi yang memilki karakter adalah tanggung jawab kita bersama selaku pahlawan tanpa tanda jasa.
Menutup tulisan ini, penulis mengutip ungkapan STEPHEN R COVEY dalam bukunya, Penciptaan Karakter “ Tanamlah Ide, petiklah perbuatan, tanamlah perbuatan petiklah kebiasaan, tanamlah kebiasaan petiklah karakter, tanamlah karakter, petiklah nasib”(*)